Kota Bekasi- Kompas Rakyat
Di penghujung tahun 2025, alam kembali memberi isyarat keras atas kelalaian manusia. Tempat Pembuangan Sampah Akhir (TPA) Bantar Gebang, Kota Bekasi, mengalami longsor pada Rabu (31/12/2025) sekitar pukul 14.05 WIB, menandai rapuhnya sistem pengelolaan sampah yang selama ini dipaksakan menanggung beban melampaui batas kewajaran dan akal sehat.
Peristiwa tersebut mengakibatkan tiga unit truk pengangkut sampah milik Pemerintah Kota Bekasi terbawa longsoran hingga terjerembab ke saluran air di sekitar lokasi. Longsor terjadi di Zona 4, tepatnya arah Pangkalan 2 Cikiwul, Kecamatan Bantar Gebang, sebuah kawasan yang selama ini menjadi saksi bisu gunungan sampah yang terus meninggi tanpa jeda.
Insiden ini bukan sekadar kecelakaan teknis, melainkan alarm keras atas krisis tata kelola persampahan. TPA Bantar Gebang diduga telah mengalami overload kronis, diperparah dengan praktik open dumping yang secara tegas telah dilarang oleh negara karena berisiko tinggi terhadap keselamatan, kesehatan, dan lingkungan hidup.
Secara normatif, Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah dengan jelas mengamanatkan bahwa pengelolaan sampah harus dilakukan secara berwawasan lingkungan, berkelanjutan, dan berbasis teknologi ramah lingkungan. Lebih lanjut, Pasal 44 UU 18/2008 menegaskan larangan pengoperasian TPA dengan sistem open dumping, yang seharusnya telah dihentikan secara nasional.
Larangan tersebut dipertegas kembali melalui Peraturan Pemerintah Nomor 81 Tahun 2012 tentang Pengelolaan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga, yang mewajibkan penerapan sanitary landfill atau teknologi pengolahan sampah modern. Fakta longsornya TPA Bantar Gebang menunjukkan adanya kesenjangan serius antara regulasi dan implementasi di lapangan.
Sekretaris Jenderal Rumah Hebat Nusantara, R. Umar Sasana, RMH, menilai peristiwa ini sebagai kegagalan kolektif dalam membaca tanda zaman. “Longsor di TPA Bantar Gebang adalah bukti nyata bahwa pendekatan tambal sulam dalam pengelolaan sampah sudah tidak relevan. Negara telah menyediakan payung hukum yang jelas, namun pengabaian terhadap regulasi justru melahirkan bencana yang mengancam keselamatan publik,” tegasnya.
Menurut Umar, pembiaran terhadap TPA yang kelebihan kapasitas sama artinya dengan menabung risiko. “Sampah bukan sekadar limbah, ia adalah konsekuensi dari peradaban. Jika tidak dikelola dengan ilmu, etika, dan tanggung jawab, maka ia akan bangkit sebagai ancaman. Ini bukan hanya urusan pemerintah daerah, melainkan tanggung jawab bersama Pemprov hingga Pemerintah Pusat,” ujarnya.
Ia juga menekankan perlunya langkah struktural dan visioner. “Pemerintah harus segera melakukan audit menyeluruh terhadap stabilitas TPA, mempercepat transformasi menuju teknologi pengolahan sampah modern, serta menegakkan hukum lingkungan tanpa kompromi. Keselamatan warga dan pekerja tidak boleh dikorbankan oleh kelambanan kebijakan,” tambah Umar.
Peristiwa ini seharusnya menjadi momentum evaluasi nasional atas sistem pengelolaan sampah perkotaan, khususnya di wilayah megapolitan Jabodetabek. Tanpa keberanian untuk beralih dari paradigma buang-tumpuk menuju kelola-olah, maka longsor demi longsor hanya tinggal menunggu waktu.
Di penghujung tahun, longsor Bantar Gebang menjadi cermin buram peradaban: bahwa sampah yang diabaikan akan menuntut balasnya. Negara dituntut hadir bukan sekadar sebagai penonton bencana, melainkan sebagai nahkoda perubahan, menata ulang kebijakan, menegakkan hukum, dan mengembalikan harmoni antara manusia, lingkungan, dan masa depan Nusantara. Pungkas R. Umar Sasana, (Red)











Komentar