Kompas Rakyat Bekasi
Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) No.5 tahun 2020. Yang dikeluarkan oleh MA, tentang Protokol Persidangan. Pada pasal 4 ayat (6). Perma tersebut mengatur tentang kewajiban meminta izin oleh Hakim atau ketua Majelis, Untuk dapat membil Foto, Rekaman Audio dan Rekaman Visual. Hal itu Harus terlebih dahulu dilakukan sebelum dimulainya persidangan.
Selain itu. Pada Pasal 7 Perma No.5 tahun 2020 ini juga mengkualifikasikan pelanggaran pasal 4 ayat (6) itu sebagai contempt of court atau penghinaan terhadap Pengadilan.
Menyikapi Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) No.5 tahun 2020 tentang protokol Persidangan yang dikeluarkan tanggal 4 Desember 2020 oleh MA.
Pada tgl 26 Desember 2020, Media Kompas Rakyat mewawancarai Ahli Pidana dari Universitas Bhayangkara Jakarta Raya yang juga di kenal sebagai Pengacara Kondang, dimana jasa hukumnya sering di minta klien untuk menangani kasus – kasus besar baik di pengadilan maupun diluar pengadilan Dr. Dwi Seno Wijanarko, SH., M.H
Saya pikir kita semua tahu yah….terutama para penegak hukum,sifat dari Undang -Undang itu harus mengikuti prisip UUD 1945 yang merupakan hukum dasar tertulis ( Basic Law ) artinya tidak boleh suatu Undang – Undang itu dilahirkan atau di bentuk apabila undang – Undang tersebut mencedarai Undang- Undang Dasar 1945.
Sebagai batang tubuh UUD 1945 merupakan hukum dasar yang menjadi sumber dasar dari seluruh peraturan perundang-undangan di Indonesia. Kita harus menghargai dan mentaatinya. Pengantarnya diwaktu di wawancara media
Nah sekarang kita fokus terhadap Perma no 5 Tahun 2020, didalam bunyi Pasal 4 ayat (6) dikatakan : Pengambilan foto, rekaman audio dan/atau rekaman audio visual harus seizin Hakim/Ketua Majelis Hakim yang bersangkutan yang dilakukan sebelum dimulainya Persidangan.
saya berpendapat bahwa Perma Nomor 5 Tahun 2020 pasal 4 ayat (6) ini bertentangan dengan prinsip UUD 1945. saya kurang setuju dengan Perma tersebut selain bertentangan dengan prinsip UUD 1945 juga justru memberikan cela bagi oknum mafia hukum untuk melakukan kecurangan dalam praktek di persidangan, sehingga keadilan yang sesungguhnya tidak tercapai.Keterbukaan informasi dan persidangan yang terbuka untuk umum mencerminkan pengadilan yang sehat dan berkesuaian dengan due process of law.
Dengan alasan itu saya meminta Mahkamah Agung kita untuk melakukan revisi terhap Perma itu khususnya pasal 4 ayat (6), demi terpacapainya keadilan yang sesungguhnya dan berpihak kepada kebenaran. karena dilahirkannya Perma ini, bukan saja dapat menimbukanl kecurangan. akan tetapi juga berpotensi menimbulkan perkara baru , Mengapa? Jika berpedoman terhadap UUD 1945, kita bertanya bagaimana apabila Hakim/ Ketua Majelis melarang /atau tidak mengijinkan wartawan yang ingin meliput suatu perkara yang sedang di proses di persidangan? Apakah Hakim Ketua yang bersangkutan dapat dikatakan menghalang-halangi atau melanggar Undang – Indang Republik Indonesia (UURI) Nomor 40 tahun 1990 tentang Pers yang kemerdekaannya dijamin Undang – Undang Dasar 1945 ? Silahkan anda yang menjawab sendiri !! tutur pengacara necis itu kepada media sambil menaiki mobilnya
Ditempat berbeda media juga mewawancarai Advokat Muda Hario Setyo Wijanarko, SH berpendapat yang sama dengan pengacara necis itu (Dr.Seno)
Beliau menambahkan Perma Nomor 5 tahun 2020 selain yang telah diutarakan Dr.Seno masih adalagi yang tidak seirama dengan UUD 1945 pasal 28 ,termasuk Undang-Undang Nomor 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik menegaskan sebagaimana dalam Pasal 28 F Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyebutkan bahwa setiap Orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh Informasi.
Informasi merupakan kebutuhan pokok setiap orang dan merupakan bagian penting bagi ketahanan Nasional. Hak untuk memperoleh informasi merupakan Hak asasi manusia dan keterbukaan informasi publik merupakan salah satu ciri penting di Negara D9emokratis yang menjunjung tinggi kedaulatan rakyat.
Adanya Perma tersebut justru melemahkan Pers dalam melaksanakan tugasnya. Pada prinsipnya persidangan terbuka untuk umum. Itu jelas sudah di atas dalam ketentuan pasal 153 ayat (3) KUHAP dan Pasal 13 UU Kekuasaan kehakiman. Sungguh tidak relevan jika harus didahulukan dengan meminta izin kepada hakim atau ketua Majelis. Esensinya hakim lah yang harus tunduk patuh pada aturan. Bukan aturan yang di kendalikan oleh hakim. Kalau hakim tidak berkenan mengizinkan . Kemudian Pers tidak bisa meliput. Lalu dimana marwah UU No 40 Tahun 1999 tentang Pers yang melindungi para jurnalis didalam menjalankan profesinya . ” Jelas Hario. (W.Silitonga)
Komentar